Pada Tahun yang Baru

 Selamat berpisah tahun yang lalu. Tahun yang penuh lika-liku, namun pada akhirnya meriah oleh kembang api pernikahan kawan-kawan karib. Selamat mengarungi kehidupan yang berdampingan, ya, kalian! Setulusnya saya turut merasa sangat berbahagia sampai-sampai membaca undangan kalian pun membuat saya berkaca-kaca. Kepada Kapita dan Kak Riko (17-12-2020)… Kepada Gifari dan Evi (26-12-2020)… Kepada Kaway dan istri (27-12-2020)… izinkan saya turut mengabadikan tanggal bahagia kalian di sini, ya!

Pada awal tahun, sungguh terasa mengecam hingga akhirnya segala aktivitas luar rumah terpaksa dipindahkan ke dalam rumah. Tiba-tiba roda perekonomian harus tersendat. Semua tertatih berusaha menjalankan kembali roda-roda kecil kehidupan masing-masing. Saya bergidik sendiri kalua harus mendeskripsikannya di sini, biarlah dia tertimbun dalam ingatan, segala hal yang terasa menakutkan ini. Harapan saya dan kita semua… semoga semua orang-orang tersayang diberi kesehatan dan selalu berada dalam lindungan Tuhan. Aamiin.

Bulan Agustus, saya secara tiba-tiba mendapat panggilan untuk micro teaching di sebuah sekolah dasar berbasis agama. Saya begitu terkejut karena mengira sudah tidak mungkin lolos, mengingat lamaran saya serahkan pada akhir Januari, yang mana pada beberapa lowongan, jika tidak dikabari dalam kurun 2 bulan, maka itu otomatis gugur. Hal mengejutkan lainnya adalah dua hari kemudian langsung dipanggil untuk mengajar di kelas. Tapi itu statusnya masih training selama enam bulan.

Selama ini, sudah sering pula saya tuliskan bahwa… saya tidak pernah tertarik untuk mengajar di sekolah. Saya merasa tahu diri cukup kesulitan untuk menangani kelompok belajar yang lumayan ramai. Nah, bisa dibayangkan sendiri… sekolah. Tapi kali itu saya mencobanya, mencoba “keluar dari zona nyaman”, mencoba menenangkan hati ibunda yang ingin anaknya punya “pekerjaan tetap”, mencoba melawan pikiran saya sendiri mengenai keterbatasan diri. Baik.

Ternyata… saya mengakhiri tahun lalu dengan memutuskan untuk mengundurkan diri dari sekolah tersebut. Alasannya? Saya merasa tidak mampu berpacu dengan ritme kerja di sana, saya merasa jadwal mengajar saya yang sebelumnya menjadi kacau balau, tentu saya pun merasa bersalah pada murid-murid saya. Tiga bulan sebelumnya, ketika saya benar-benar merasa ingin menyerah, saya coba untuk menguatkan diri, dan bertahan sampai akhir semester. Nyatanya? Makin saya meyakinkan diri, makin ditunjukkan bahwa memang ada yang salah pada sistem sekolah itu. Saya coba mengabaikannya, namun muncullah gagasan untuk mengundurkan diri. Namun, demi ibunda, saya tahan-tahan. Ah, itu pun sambal tak henti-hentinya merengek pada Tuhan, meminta petunjuk jalan terbaik.

Dan selama sisa waktu menuju akhir semester, saya menganggap bahwa Tuhan memberikan petunjuk sehingga keputusan untuk mundur semakin bulat. Selain itu, pada dua orang (calon) siswa sudah saya iya-kan untuk les, dimulai pada semester dua. Saya seperti berjanji pada diri saya sendiri.

Awalnya sekaliiiiii….. saya berniat melepas bimbel. Tapi kemudian rupanya Tuhan tau hati saya ke mana… ditunjukkanNya-lah mana yang sebenarnya membuat saya kelelahan secara psikis. Kalau diingat-ingat… selepas jam sekolah lalu mengajar di bimbel, saya malah merasa seperti diisi ulang energinya; bertemu one-by-one dengan siswa saya, menyaksikan perkembangannya, merasakan emosinya, bercanda mencairkan ketegangannya, dan lain-lain… ah, rasanya sungguh recharged! Mengingat itu makin menguatkan saya, meyakinkan diri bahwa tidak semua guru harus mampu menangani kelompok belajar, tiap guru boleh memilih spesialisnya masing-masing.

Begitulah pada akhirnya saya melepas pekerjaan di sekolah dan bersiap untuk mengatur jadwal mengajar tahun ajaran baru, dengan harapan bahwa saya bisa bantu untuk mem-back-up siswa dengan kebutuhan khusus agar bisa mandiri dalam belajar sehingga guru di sekolah sedikit berkurang bebannya. BTW, saya sekarang sudah tau kenapa siswa-siswa berkebutuhan khusus alias anak-anak spesial ini tetap dikategorikan lambat di sekolah. Hal itu dikarenakan oleh terlalu beragamnya siswa dalam satu kelas sementara guru (secara umum, yang sejak dahulu kala) dituntut untuk mampu mengayomi segala keberagaman itu. Padahal, kan, bisa saja anak-anak dikelompokkan menurut beberapa kategori dan diberikan guru yang kompeten dan menyanggupi untuk menangani kelas tersebut. Pada beberapa kasus, sebagian anak memang membutuhkan perlakuan intensif dan khusus demi membentuk karakter yang mandiri dalam belajar dan ke depannya. Bismillaah.

 

(sambil denger lagu-lagu dari YouTube dan sing-along… jadi fokusnya rada terpencar, ha ha ha)

 

Oh! Biasanya resolusi, ya!

Tidak muluk-muluk, mencoba realistis… pada tahun yang baru ini saya berharap bisa menjadi pribadi yang lebih baik (umum, ya? Wkwk)

Tahun ini saya berdoa supaya bisa menyusul kawan-kawan yang melanjutkan fase kehidupan ke tahap pernikahan, aamiin.

Lalu, bisa bekerja dengan senang hati (mengajar), dan punya kesempatan mencoba pekerjaan di bidang perkafean (hi hi hi).

OH! RESOLUSI yang berkaitan dengan juga dengan pernikahan adalah MENGHAPUS JAM MALAM! Hi hi hi.

 

Mari mengawali segala hal dengan nama Tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Semoga segala hal menjadi lebih baik. Semoga kita tak jemu-jemu selalu merengek berdoa pada Tuhan sebab Tuhan tak pernah muak dengan keinginan kita ^^~

 

Tulisan ini semoga akan banyak beranak-pinak, ya! Seorang sobat karib semasa SMA mengusulkan saya untuk kembali serius menulis. Serius menulis blog yang isinya kadang tak serius, wkwk. Ini tulisan saya persembahkan untuk Shafa Marwah <3 terima kasih atas saran yang saya tangkap sebagai dukungan untuk kembali menulis!

Ah, satu hal lagi… berkenaan dengan pekerjaan di sekolah… tak mungkin tiada rasa sedih pada sebuah perpisahan. Di sekolah saya begitu sering dibuat haru oleh tunat-tunas manusia yang begitu murni dan tulus, murid-murid kelas 1, terkhusus Sunan Kudus, murid-murid kelas 3, terkhusus Al Kindi, dan semuanya! Terima kasih telah menambah kisah dalam hidup saya, pun pelajaran-pelajaran yang terlalu berharga untuk dilupakan. Rekan-rekan guru! Kalian sangat luar biasa! Tuhan tidak pernah tidur, ya. Kalian mulia sekali sampai-sampai saya merasa malu karena mundur dari arena juang. Terima kasih atas ilmu lahir batin yang saya terima. Kepada seluruh wali murid pun terucap terima kasih yang tak terkira karena telah menyayangi saya tanpa memandang status saya yang baru muncul di sekolah. Wah, jadi melankolis begini… semoga kita semua tetap dalam lindungan Tuhan, ya. Saya hanya tidak lagi di sekolah, tapi saya selalu terbuka jika ada yang ingin berkomunikasi.


Sekian, sebelum menjadi semakin panjang, hehe.

Comments