Kabar

Halo.

Ada beberapa tulisan offline yang sudah selesai. Setelah dilihat-lihat, sepertinya kurang layak rilis di blog. Terlalu personal dan terlalu ambruk, haha.

Apa kabar?

Huft... terakhir kali tentang lebaran, ya? Baik. Kehidupan berjalan dengan baik-baik saja, semuanya. Hal-hal mendasar masih diberi gratis oleh Tuhan. Udara untuk bernafas, sinar matahari, angin, dan pemandangan bulan purnama yang cantik beberapa kali mengiringi jalan pulang.

Kabari bahagia pun berseliweran lagi. Sungguh, saya turut berbahagia dengan sepenuh hati! Semoga semua kita akan tiba pada saat bahagia itu di penghujung asa yang sudah mau habis. Sebelum tiba, semoga kita diberi rasa sabar dan ikhlas dalam penantian yang luas. Aamiin.

Melihat berita Maudy Ayunda yang baru menyelesaikan lagi studinya di Stanford University tentu menggelitik bagian yang menciut dalam hati. Jelas masih ada keinginan untuk melanjutkan studi. Sebentar lagi. Semua akan terjadi jika saatnya memang sudah.

Dalam hal pekerjaan, hampir segalanya terasa stagnan. Biasa saja dan begitu-begitu saja. Sampai mucul angan-angan: bagaimana kalau dulu saya tidak resign dari sekolah? Mungkin banyak hal baru yang akan saya dapatkan. Kehidupan sosial yang lebih baik, dalam artian, punya lebih banyak teman dan menjalin relasi yang lebih luas.

Tapi tidak boleh menyesali yang telah lewat. Mari berfokus pada masa sekarang untuk masa depan.

Berkali-kali saya berdialog dengan diri sendiri terhadap hal-hal yang mengganjal di hati. Ah, rupanya pada diri sendiri pun saya masih kesulitan untuk jujur. Padahal dengan diri sendiri tapi kenapa masih takut akan penilaian orang? Ini sih rasanya parah. Bagaimana pun seharusnya ini mudah. Toh pada diri sendiri.

Hal yang menjadi PR adalah ... ada apa? Mengapa bahkan pada diri sendiri pun takut dihakimi? 

Bolak-balik berusaha mempelajari tentang ilmu psikologi dari buku-buku, fiksi maupun nonfiksi. Tapi memang sepertinya ada boundaries yang terbentang dalam diri saya sehingga usaha untuk terbuka pada diri sendiri pun terasa berat.

Menonton beberapa video edukasi maupun sharing tentang kepribadian dan lain-lain rasanya cukup membantu untuk membuka sedikit demi sedikit celah untuk mengintip apa yang sebenarnya terjadi dalam diri. Rasanya seperti ada yang telah cedera, tapi untuk memeriksa itu butuh untuk melihat jauh lebih ke dalam lagi.

Saat ini, (saya menyebutnya) Gelombang ke-dua tau-tau telah tiba. Gelombang kabar bahagia. Nah, di awal saya sudah mengungkapkannya. Turut berbahagia, tentu.  Namun, setiap hal itu terjadi, saya merasa seperti dibawa ke dimensi di mana melihat segala hal dalam kekaburan, melihat hal-hal yang baik itu berkabut, lalu merasa kesulitan untuk bisa fokus, bahkan terhadap pekerjaan yang sudah biasa saya kerjakan. Apakah sensitifitas yang berkurang? Tapi saya yakin bukan itu masalahnya. Ada yang lain. Yang masih berusaha saya uraikan namun ketika merasa lebih baik, ketika gelombang itu telah berlalu, saya tidak menyelesaikan kegiatan menguraikan masalah itu sehingga bisa dibilang masalah itu sebenarnya belum selesai.

Apakah saya terlalu banyak memikirkan hal remeh-temeh?

Rasanya setiap pemikiran saya untuk melangkah maju terblokir oleh asumsi-asumsi mengenai resiko terburuk yang bisa saja terjadi jika saya nekat mencoba maju. Saya terus berputar di lingakaran itu sampai lelah. Ketika sudah lelah, saya akan terduduk lunglai di tengah-tengah, berharap ada uluran tangan yang bisa menarik saya keluar. Namun nyatanya, sayalah satu-satunya orang yang bisa mengeluarkan diri dari lingkaran itu.

Sering kali, kalau sudah lelah sekali, alih-alih menyerah, saya melupakan masa terpuruk itu dan kabur--meninggalkan masalah yang belum tuntas.

Baru-baru pula saya sadari bahwa ... saya sering bergantung pada orang lain untuk menyelesaikan masalah saya, yang mana hal itu keliru. Tidak setiap orang harus bertanggungjawab terhadap masalah saya. Jelas. Lantas, mengapa saya merasa keadaan saya yang seperti ini merupakan akibat dari perbuatan seseorang? 

Overthinking adalah hal yang sangat mengganggu, seperti untaian tali yang tak ada ujungnya, terus bisa terulur, kadang berupa kumparan yang tak terputus. Saya berusaha memahami apa inti yang membuat saya terus overthinking itu. Ada beberapa poin utama. Namun saat ini untuk melihat itu dengan jelas masih terasa sulit karena di kepala saya seperti sedang berkabut sehingga hampir segala jenis pemikiran tak bisa terlihat dengan jelas.

(cont.)

Comments