(be)Well-October
Sejak penghujung September, Oktober sudah terasa menakutkan. Entah karena terkenal dengan tradisi Halloween-nya, atau karena hal lain…
Dua sahabat karib akan menikah pada bulan Oktober, kabar
yang menggembirakan sekali. Namun, yang tiba-tiba tentu saja membuat tak
keruan, karena saya tidak suka kejutan, oleh sebab tidak bisa menyiapkan respon
yang harus diberikan. Pada hari itu, malam itu, tiba-tiba melihat seorang sahabat
karib mengunggah sepasang foto berlatar biru, diikuti oleh konfirmasi kabar bahagia.
Rasanya sungguh tidak jelas. Sampai akhirnya saya lepaskan semua perasaan yang
tidak jelas itu dalam bentuk tangisan. Setelahnya saya merasa baikan. Keesokan
harinya sudah bisa berpikir jernih lagi.
Lalu setelah-setelahnya saya tidak begitu ingat, perasaan
naik-turun, pasang-surut. Saya berusaha menikmati hari-hari mengajar, membeli
buku, membaca buku bagus, sesekali kencan dan berbincang, mengunjungi kawan,
dan tidak melakukan apa-apa.
Tau-tau sudah Oktober pada suatu pagi…
H-9 …
H-19 …
Rasa mental tidak akan sanggup menjalani bulan Oktober,
ingin tidur dan bangun pada bulan November. Alih-alih wake me up when
September ends, saya rasanya akan memulai hibernasi saat September
berakhir. Lalu, wake me up when October ends.
Pada Senin pertama bulan Oktober, dada saya tetiba rasanya
dipenuhi sebuah perasaan yang menyesakkan, sampai-sampai semua sisa energi untuk
mengajar terserap habis dan runtuh. Selesai siswa terakhir, saya melajukan
motor berkendara saja tanpa ada keinginan untuk mampir. Sebuah perjalanan yang
terlalu awal untuk menikmati matahari terbenam, juga terlalu sepi untuk
dirayakan. Perjalanan itu semata-mata hanya untuk melegakan dada yang sesak.
Tentu saja air mata beberapa kali berderai deras membasahi masker yang saya
pakai. Namun, seteleh beberapa kalimat terlontar sebagai bentuk dialog dengan
diri sendiri, air mata mengering dan dada tak sesesak sebelumnya. Dengan penuh
kesadaran, saya menyusuri jalanan panjang dan mengenang jalur jalan jauh
bersama K di waktu lalu. Bibir mulai ringan untuk menyunggingkan seulas senyum
tipis.
Angin sore dari pantai yang berhembus semakin dingin membuat
saya merasa lebih baik kembali dan mencari tempat untuk menunggu dengan aman. Saya
pun melajukan motor untuk perjalanan kembali. Hari menjelang senja, saya
melipir ke KFC saja. Memesan paket dengan sedikit nafsu makan sembari menunggu
K kembali dari proyek.
Tiap kali dia menelpon, perasaan terasa lebih ringan. Namun,
rasa kesepian menjadi semakin nyata malah ketika dia sudah di depan mata. Rasa
ingin menangis lagi, ingin terisak lagi, dan perasaan runtuh kembali hadir. Beberapa
kali saya mencoba untuk menahan bulir-bulir air mata yang rupanya sudah terisi
kembali. Dari dalam, kami pindah keluar, K memesan capuccinno lantaran mocha
float saya yang terlalu manis untuk menenangkan perasaan yang galau sekali.
Di luar, K berusaha menjabarkan perasaan saya, membicarakan berbagai hal untuk mengalihkan
pikiran saya, sampai pada akhirnya kita tidak bisa lagi ke mana-mana; mau tak
mau membahas musabab perasaan saya menjadi begitu tidak stabil.
Sebelum-sebelumnya, kabar pernikahan kawan-kawan mentrigger
saya untuk merasa galau, kesal, iri, dan entah-apa-lagi. Namun, setelah beberapa
waktu mencerna segalanya, saya bisa menerima kabar bahagia itu dengan bahagia
pula, dengan kata lain, saya sudah berhasil settled. Kali ini, terhadap
kabar bahagia seorang sahabat yang begitu dekat, saya merasa… saya tidak paham
perasaan ap aitu, sampai akhirnya K membuat saya melihat dengan jelas bentuk
perasaan itu.
Well, saya sepakat dengan pendapat K bahwa saya
mengkhawatirkan dia—sahabat saya itu—V. Rupanya K memahami bahwa saya khawatir bahwa V
akan tidak bahagia atas pernikahannya. Tapi, K membukakan sebuah jendela lain
di depan mata saya. K berusaha memberi saya sudut pandang yang lain, yang
mungkin tidak pernah berani saya lihat, bahwa V sudah melalui proses panjang
sampai akhirnya tiba pada keputusan untuk menikah dengan seseorang itu. K
meyakinkan saya bahwa V tidak akan gegabah dalam mengambil keputusan. K
meyakinkan saya untuk tenang dan mendoakan kebahagiaan yang paling bagi V dan
pasangannya.
Selepas pembicaraan mengenai hal itu, saya termenung.
Benar juga… bisa jadi saya terlalu mengkhawatirkan V. Namun,
setelah melihat sudut pandang yang K tawarkan, hati saya merasa kembali tenang
dan air mata benar-benar terkunci dalam tangka yang aman.
Pada titik itu, saya merasa takjub! Bagaimana bisa seorang
lain memahami diri saya dengan lebih baik, dan bahkan dengan cukup tepat? Tidak
hanya sekali-duakali, namun berkali-kali!
Melegakan sekali perjumpaan dan perbicangan malam itu dengan
K. Kalau saja pukul 9 belumlah terhitung larut, maka sampai pukul 12 kami akan
duduk dan berbincang tak kenal lelah. Sayangnya, K tampak butuh istirahat
setelah seharian bekerja, dan saya—energi jiwa saya yang penuh—pun menyadari
bahwa saya pun butuh istirahat setelah perjalanan jauh yang tak jelas
tujuannya.
Hmm… dengan agak berat hati, kami pun berpisah.
Sampai rumah, rasa lelah langsung menyergap seolah sudah
tiba gilirannya. Malam itu saya tidur dengan perasaan yang ringan dan tenang.
Entah sudah berapa malam tidak tidur dengan perasaan seperti itu.
Paginya, ajaib! Badan tidak pegal-pegal seperti pagi
sebelumnya. Saya takjub sekali menyadari betul betapa beban yang ada di kepala
dan hati itu begitu membebani tubuh.
Selasa saya lalui dengan ringan dan sumringah!
Sampai pada malamnya… perasaan rindu menghampiri, ha ha ha.
Ini bukan bermaksud meromantisasi, tapi begitulah adanya… Sayangnya, K sudah
kelelahan dan tidur malam saya agak terganggu karena perasaan itu. Tiba-tiba
saya terbangun menjelang pukul 1. Lalu berusaha keras untuk kembali tidur sampai
menjelang pukul 2.
Hari tadi, Rabu, berjalan agak gimana gitu… ‘baterai’ saya sudah
butuh diisi ulang, tapi kami harus mampu berkompromi dengan segala kesibukan masing-masing,
hehe. Today ended well b’cuz my class went well with the kids<3 And for
that, I think I can survive one more day~
Comments
Post a Comment