Catatan Akhir Tahun 2021: Menjadi Manusia

 Chapter 2 dari postingan sebelumnya, ternyata di tahun ini saya diberi kesempatan oleh Tuhan untuk belajar menjadi lebih manusiawi. Bahagia sekali! Bersyukur sekali, tentu saja, atas kesempatan yang diberikan oleh Tuhan. Karena melakukan hal yang manusiawi pun merupakan sebuah cita-cita saya, hehe.

Selama ini saya selalu merasa ingin juga melakukan hal yang manusiawi, sebagaimana yang sering saya lihat pada K. Dia selalu baik kepada sesama manusia, pun juga pada binatang. Sedikit terbersit rasa kepingin juga jadi baik seperti dia. 

Bersyukur sekali Tuhan memberikan kesempatan itu. Dalam hal ini adalah membantu teman yang kebetulan sedang tertimpa musibah. Pada saat itu, saya terharu sekali karena Tuhan mengabulkan cita-cita saya, saya jadi merasa semakin utuh sebagai manusia, merasa akhirnya berguna juga sebagai seorang teman. Dan berkali-kali, bahkan sampai sekarang, berterima kasih karena Tuhan memberi saya kesempatan untuk berbuat baik.

Tidak akan saya ceritakan mendetil di sini, ah.

Selanjutnya, berkaitan dengan pekerjaan.

Sudah dua tahun ini saya bekerja di dua lembaga pendidikan non-formal. Keduanya tentu berbeda. Lantas, hal itu menjadikan saya seorang pengajar yang sekaligus belajar. Kesempatan yang diberikan oleh kedua lembaga ini pun berbeda, namun sama-sama berharga. Hal-hal yang ketika saya renungkan malah membuat saya merasa sangat beruntung, lalu berterima kasih pada Tuhan, pada rekan-rekan kerja yang semua baik sekali! 

Ketika di akhir tahun lalu saya berkesempatan untuk mengajar di sebuah sekolah, namun pada awal tahun ini saya resign, maka saya bertanya-tanya kenapa sampai bertahun-tahun masih betah bekerja di tempat les. Tahun ini, saya bisa memastikan jawabannya dan semoga bisa bertumbuh semakin bijak dan baik oleh karena penyadaran ini.

Alasannya sederhanya dan lumayan mengandung unsur keras kepala dan sok idealis, sih. Mengapa saya bertahan adalah karena saya bisa bekerja sesuai dengan prinsip kerja yang saya anut, tidak terlalu banyak diintervensi oleh atasan-atasan, dan ternyata... saya bisa menjadi makhluk sosial juga! Ya, menjadi mahkluk sosial yang berinteraksi dengan beberapa orang sekaligus dalam satu waktu. Biasanya saya akan merasa cepat lelah kalau bertemu dan harus berinteraksi dengan banyak orang sekaligus. Namun, pekerjaan saya ini membuat saya mampu melakukannya! Wah! 2 hal itu adalah alasan major mengapa saya bertahan.

Apakah tidak ingin mencoba pekerjaan lain? Tentu ada keinginan, tapi dilihat-lihat dan mendengar dari cerita-cerita teman lain tentang tempat kerjanya... umm, lemme think again about it. Yang akan membuat saya berkali lipat lebih lelah sepertinya adalah berhadapan dengan manusia-manusia 'dewasa', yang berbeda prinsip kerja, yang... huft... entahlah. Rasanya menyeramkan sehingga membuat saya berpikir bahwa saya tidak akan sanggup. Tapi bukan berarti saya tidak ingin mencoba pekerjaan lain. Kan, masih ada pekerjaan yang tidak perlu bergelut dengan urusan-urusan yang rumit. Contohnya: jualan kue, hehe.

Namun untuk saat ini, saya akan melakukan pekerjaan yang sekarang dengan lebih baik sembari bertumbuh menjadi pribadi yang lebih manusiawi dan lebih baik lagi ^_^

Eh, masih terkait pekerjaan, hehe, bahagia sekali tahun ini mendapat penghargaan sebagai salah satu tutor terbaik di bimbel. Terharu. Mula-mula kaget melihat nama terpampang di laman pemungutan suara Teacher of the Year. Lalu muncul perasaan merasa dihargai dan merasa bahwa segala sakit kepala mikirin lembar kerja dan menahan emosi tiap menghadapi siswa rasanya terbayar. Selain itu, muncul juga ketakutan kalau hal itu akan membuat saya sombong, amot-amit. Jadi selama periode pemilihan sampai dengan saat ini, saya berusaha untuk tidak memikirkan hal itu, predikat itu, dan hal-hal yang berpotensi menumbuhkan perasaan sombong. Ngeri.

Terlepas dari itu, tentu boleh, dong, kalau saya berterima kasih pada diri saya atas kebandelan saya selama bekerja, mengutamakan kebutuhan siswa dan kemampuan siswa dalam belajar, tidak menuruti materi dan laju yang diberikan oleh sekolah ataupun tuntutan orangtua yang seringkali membuat gemas.

Muncul sebuah kesadaran bahwa sebagai guru, selain menjadi jembatan antara orangtua dan anak, atau target pembelajaran sekolah dengan kemampuan siswa, guru ini pun sebagai saringan atas ketimpangan pola pengasuhan dan sistem pendidikan yang ada. Guru... hmmm... mengekstrak keinginan orangtua untuk kemudian dijadikan bahan bakar untuk memproses si anak yang tentu saja mempunyai kemampuan dan kecepatan yang kadang kurang dipahami oleh orangtua. Pun guru... berkali-kali memodifkasi cara belajar dan mengolah materi agar sesuai dengan gaya belajar dan daya tangkap si siswa supaya bisa mencapai kualifikasi yang ditetapkan di sekolah. Agak merepotkan memang, tapi kalau melihat hasilnya pada siswa yang jadi semangat dan senang belajar, ditambah bonus nilai siswa yang memuaskan, jadi turut merasa bahagia... 

Di sisi lain, menjadi guru juga seperti selalu mendapat kesempatan baru untuk menjadi manusia teladan di depan siswa :') ini mengharukan secara personal, sih. Menjadi guru, sejak awal saya sadari bahwa ternyata saya yang lebih banyak dari siswa saya.

Setelah hampir 3 tahun saya baru lebih banyak sadar kalo di hadapan siswa, guru adalah sosok 'sempurna'. Bukan hanya guru, tapi juga 'orang dewasa' lainnya adalah sempurna di mata siswa saya yang kebanyakan adalah anak kecil. Pada siswa remaja dan menjelang dewasa pun ternyata imej guru adalah sosok tanpa cela rupanya berlaku, sih. Maka dari itu agak berat juga, ya, kalau sebagai guru ketika ditanya tapi belum bisa menjawab dengan benar.

Berangkat dari situ, saya eksperimen, dan ini menjadi kesempatan bagi saya untuk bisa reset setiap hari, hehe. Dengan misi memperbaiki imej guru yang sempurna tadi, saya malah ingin menunjukkan ke siswa saya kalo guru juga bisa salah, guru juga masih terus belajar, guru juga masih perlu belajar, dan kita selalu bisa belajar bareng.

Pada jargon, "guru itu terlihat pintar karena sudah lebih dulu belajar," saya setuju. Tapi tidak ada salahnya juga untuk mulai belajar bersama karena kan ilmu pengetahuan itu terus meluas, ya. Kadang sebagai guru, kesibukan saya membatasi waktu saya untuk mempelajari hal baru, jadi seringkali saya akan mulai mencari informasi terkait pertanyaan siswa saya ketika ditanyakan dan kita akan belajar bersama saat itu.

Agak rumit, ya?

Jadi gini, bekerja sebagai guru, bagi saya menjadi ruang baru yang berharga sekali. Karena dengan menjadi guru saya bisa bersikap jujur di hadapan siswa-siswa saya. Maksudnya, yah... menjadi apa adanya aja. Terlebih pada siswa anak-anak, ya. Mereka, kan, polos dan murni banget, ya, jadi ada sebuah keyakinan kecil dalam diri saya kalau mereka bukanlah manusia-manusia yang hobi menjustifikasi seseorang, kecuali kalau lingkungannya emang kurang baik. Maka dari itu, saya berusaha untuk tidak pura-pura di depan siswa. Ketika mereka bertanya tentang sesuatu yang belum pernah saya dengar, saya bilang ke mereka, "Aduh, maaf, miss belum tahu jawabannya. Tapi sebentar coba miss caritau dulu, ya. Miss baru denger, lho, pertanyaan tentang itu. Makasih, ya, miss jadi belajar hal baru lagi!"

Dengan demikian, instead of siswanya kecewa karena tidak mendapat jawaban, mereka akan secara tidak sadar akan mendapat pemahaman bahwa orang dewasa juga bisa nggak tahu, orang dewasa juga boleh mencari jawaban. Daripada mengejek atau meremehkan pertanyaan mereka, saya sebisa mungkin, sih, meminta kesempatan untuk membaca dan mencari jawaban atas pertanyaan mereka. Harapannya, di alam bawah sadar mereka, kebiasaan untuk berusaha dan tidak meremehkan pertanyaan kecil itu tumbuh dan terus berkembang sampai mereka dewasa kelak.

Saya selalu percaya bahwa anak-anak itu adalah tunas-tunas manusia yang harus sangat hati-hati dikawal pertumbuhan dan perkembangannya. Maka, sebagai guru, bukan sesuatu yang bisa membawa dampak yang tiba-tiba masif, saya merasa punya kesempatan berharga untuk turut ambil andil dalam membawa perubahan kecil, hehe.

Saya ingat betul dulu mati-matian gamau jadi guru, tapi Tuhan memang lebih tahu, jadi saya diberikan kesempatan untuk menjadi guru, dan dari sini saya belajar menjadi manusia.

Apa lagi, ya? Ada lagi... tapi takut muter-muter. Intinya, sih, itu.

Saya selalu khawatir tidak bisa bersosialisasi dengan baik karena ke-intovert-an saya ini, syukurnya selalu ada jalan, sih. Semua memang sudah ada bagiannya masing-masing, ya!

Satu lagi terkait dengan pekerjaan. Saya sering berpikir, kalau bukan menjadi guru, saya akan menjadi apa, ya? Kemudian di antara semua kemungkinan, menjadi guru adalah pilihan terbaik bagi saya. Ya, kehendak Tuhan memang yang terbaik, bukan? 

Kalau orang-orang, terutama keluarga, hanya melihat saya sebagai seorang guru les, maka bagi saya malah menjadi guru adalah sebuah peti penuh harta karun dalam hidup saya, he he he. Sebegitu berartinya pekerjaan mengajar ini bagi saya, begitu kalau diungkapkan dengan kata-kata.

Banyak hal ajaib yang terjadi kalau sedang mengajar; tiba-tiba bisa jadi sangat bijak, bisa jadi sangat kreatif, bisa jadi stres bnaget, bisa terdengar pinter banget, bisa jadi keibuan dan penuh kasih sayang banget, bisa jadi friendly banget, aneh banget dah! Tapi suka! Semoga bisa menjadi lebih baik terus, sih.

Semangat untuk tetap bekerja dengan waras dan jangan lelah untuk menjadi baik!

Comments