Catatan Akhir Tahun 2021: Persahabatan

 Kebetulan di penghujung bulan, penghujung tahun, di hari yang penuh berkah... mari kita membuat catatan akhir tahun.

Yang paling terasa sih pertumbuhan mental, ya. Tapi semoga juga tubuh ini tidak semakin menjompo, he he.

Karena sudah lama sekali tidak rutin journaling, jadi agak kaku... but, let's start anyway~

Beberapa pekan ini sering mengobrol juga dengan teman dekat yang sekarang sudah ga seberapa, tapi bersyukur banget masih ada. Yang diobroli, ya, tentang bagaimana melewati tahun ini, tentang harapan di tahun mendatang, dan keluh-kesah harian yang lumrah.

Pertama-tama, menurut saya, hadiah yang membuat saya harus berterima kasih pada diri sendiri pada tahun ini adalah semakin lama saya akhirnya bisa belajar untuk menjadi lebih bijak; mengontrol emosi dan perasaan; mengendalikan apa yang bisa saya kendalikan; merelakan hal-hal yang memang di luar kuasa saya; belajar terus dengan sebaik-baiknya untuk menjadi lebih dewasa (dalam berpikir dan bertindak).

Terasa sekali tahun ini, periode menangis bulanan/2 bulanan sudah semakin berkurang. Hanya beberapa kali saja menangis seperti orang gila. Tidak seintens tahun sebelumnya. Meski pada beberapa periode saya memang benar-benar menangis seperti orang gila, berkendara jauh sambil menangis, makan sendirian, lalu mampir menangis di rumah kawan. Pada saat itu, saya sepenuhnya sadar bahwa saya seperti orang gila, isi pikiran saya jelas, namun yang tidak jelas hanyalah relasi keduanya apa sehingga membuat saya menangis seperti sedih banget. Kalau diingat-ingat, lucu, konyol, tapi juga wajar.

Ya, sudah~

Awal-awal tahun dimulai dengan ketar-ketir karena baru resign dari sebuah sekolah, lalu impulsive buying buku alih-alih self-healing. Abis itu mikirin pemasukan setelah lepas dari sekolah. Awal tahun belajar hemat, he he.

Memasuki Maret, menagih gaji... lumayan untuk ganti kacamata, alhamdulillaah~ lalu mendampingi si abang melewati masa peralihan untuk menjadi lebih baik, he he.

Keadaan finansial alhamdulillaah membaik. Tapi udah ga terlalu hedon, ih, ga terlalu hobi belanja-belanja lagi, kecuali memang belanja bulanan kebutuhan, dan sesekali jajan atau nongkrong. 

Pertengahan tahun... baru, deh, mulai agak klimaks~ kabar-kabar pernikahan kawan bertebaran. Rasanya seperti berada di tengah-tengah keributan yang bikin stres! Di satu sisi bahagia, di sisi lain sedih, di sisi lain lagi merasa putus asa, haha. Mungkin waktu itu sempat depresi ringan, ya? Karena segala makan dan tidur sampe pikiran pun berantakan. Capek melulu padahal ga sibuk-sibuk amat. Ingatan berkabut, bahkan untuk kejadian hari kemarin atau bahkan beberapa jam yang lalu~

Menggila, sih. Itu, tuh, kondisinya sedang berusaha stabil mental, tau-tau undangan bergerubul, yaaa Tuhaaaaaan :') berat banget rasanya. Tapi dengan keyakinan bahwa waktu dari Tuhan adalah yang terbaik dan mantra: This too shall pass... maka, meski bertangis-tangis dan jadi hedon karena healing-nya makan KFC dan ngopi di kofisyop, lalu, yha... begitu-lah saya melalui itu. 

Di titik itu, saya dengan kesadaran penuh bahwa itu akan berlalu... dan suatu hari nanti (kebetulan hari ini) saya akan menuliskan kenangan tentang waktu itu dengan penuh kelegaan dan rasa syukur karena telah melalui masa itu. Gila, waktu itu rasanya sangat putus asa dan pesimis dan udah males ketemu temen-temen lagi, udah ga punya energi untuk turut berbahagia. Capek banget! Tapi semua itu sudah berlaluuu ^_^

Mungkin puncaknya adalah ketika seorang sahabat menikah. Saya merasa itu terlalu tiba-tiba sampai-sampai hal itu membuat saya menangis sering sekali dalam sebulan. Saya merasa dikhianati (apaan coba?!), lalu merasa tidak akan punya teman lagi, merasa dia akan menghilang sebagai teman saya karena sudah menjadi istri seseorang, merasa... argh!

Butuh waktu 1-2 bulan untuk saya bisa berdamai dengan keadaan yang baru. Hampir setiap hari ketika berangkat dan sepulang kerja, saya bicara pada diri saya sendiri, berusaha meyakinkan diri bahwa begitulah hidup, orang-orang akan berubah karena hidup yang berlanjut, keadaan akan berubah karena semua hal tentu akan berubah, lalu yang ada akan pergi, yang pergi akan diganti oleh yang akan datang, dan lain-lain, dan seterusnya. 

Yang saya sadari setelah lama bergumul dengan pikiran-pikiran yang begitu berisik dalam kepala saya selama masa itu adalah: saya harus mulai berdamai dengan diri sendiri.

Sebelumnya, saya pernah melalui juga masa yang sangat menyakitkan, pengkhianatan yang terasa lebih tak termaafkan, dan pertikaian hebat berlangsung cukup lama dalam diri saya. Tapi semua... semua jadi membaik setelah saya mulai memaafkan diri sendiri.

Nah, kenapa sih harus berdamai dengan diri sendiri?

Ya... karena yang bergumul adalah pikiran-pikiran saya sendiri. Sendiri. Sampai situ, saya mengakui bahwa there's something wrong within me. Maka, mulailah saya bermonolog dengan 'lebih waras' dengan diri sendiri. Mungkin istilahnya mindfulness, ya?

Menyerap semua kejadian, pelan-pelan menelaah dan memprosesnya dengan hati dan pikiran yang tenang. Setelah itu... menerima setiap kejadian sebagai hal-hal yang memang akan terjadi, kapan saja bisa terjadi, dan itu di luar kontrol saya, sehingga yang bisa saya lakukan adalah beradaptasi dengan keadaan yang sudah berbeda. 

Tentu tidak semudah saat mengulasnya setelah melaluinya, tapi dengan membawa keyakinan dan mantra yang tadi, gaskan aja-lah!

Yang kemudian menjadi PR adalah... bagaimana cara saya beradaptasi? Bagaimana cara saya memulai lagi? Karena pada waktu itu sempat tidak berkomunikasi sama sekali dengan si kawan itu. Saya merasa terpukul dan merasa harus menutup buku dengan dia yang sudah menjadi istri, seseorang yang sudah bersuami, seseorang yang sudah menemukan teman hidup, yang (dalam pikiran saya) sudah tidak butuh teman main seperti saya lagi, yang mana membuat saya merasa tugas menjadi teman dia sudah selesai.

Sampai kemudian pada suatu hari, tiba-tiba saya kepikiran dia. Itu kira-kira hampir sebulan setelah dia menikah. Tapi saya tidak mengontaknya, sebagaimana dulu biasa saya lakukan. Saya coba memantau kondisinya melalui media sosial, tapi tidak menemukan apapun yang bisa membuat tenang. 

Di tengah-tengah itu, tau-tau di timeline Twitter saya lewat sebuah utas yang menurut saya berhubungan dengan keadaan yang sedang saya hadapi. Saya pun memberanikan diri untuk mengirimkan utas itu padanya melalui DM. Dan sepanjang hari itu saya ketar-ketir membuka DM, menunggu balasan darinya. Huft!

Dari situ, saya merasa sangat jahat sebagai teman. Saya tidak tahu kalau bulan sebelumnya dia bolak-balik masuk rumah sakit, saya baru tahu kalau hari-hari dia cukup berat, dan di titik itu membawa pengetahuan baru bagi saya, bahwa tidak akan pernah selesai sebuah pertemanan meski ada yang sudah menikah.

Dia sangat memahami saya sampai-sampai overthinking hanya untuk mengunggah momen-momen bahagia di media sosial karena memikirkan perasaan saya! Akh! Padahal, saya sendiri sudah bertindak preventif dengan membisukan dan membatasi diri dalam mengecek keadaan di media sosial dengan maksud supaya dia tidak terbebani ketika ingin mengunggah momen-momen itu. Nyatanya, kami melakukan hal demi kenyamanan satu sama lain. Bedanya, dia yang mengkhawatirkan perasaan saya, dan saya yang menyelamatkan diri. Eh, tapi juga kan memberi ruang untuk dia, ya? Nyatanya sih kami sama-sama memahami satu sama lain. Hanya saja, karena tidak berkomunikasi, maka semua jadi tidak berjalan dengan baik dan selancar yang diharapkan.

Tapi pada akhirnya, kami bertemu juga setelah sebuah janji temu yang tertunda. Saat itu hari Minggu, saya sudah jenuh di rumah, takut disergap perasaan depresi, sore saya memutuskan untuk berkeliling saja sembari akan bertemu si abang, yang ternyata batal, lalu bertemu dengan si kawan. Saat itu, suaminya ingin ikut juga. Karena keadaan saya yang tidak cukup stabil, tanpa berpikir lebih jauh, ya, saya katakan tidak apa-apa kalau suaminya mau ikut. Lagipula, kalau saya mau keberatan, ya, kenapa juga?

Kami berbincang dengan agak kikuk, tapi kami sama-sama berusaha mencairkan suasana. Dia banyak bercerita dan saya lebih banyak mendengarkan, karena merasa... hidup saya berjalan dengan baik dan tidak banyak perubahan untuk diceritakan, lagipula... cerita saya mungkin akan terdengar membosankan, hehe. Dari situ saya merasa telah memberikan kesempatan kedua bagi diri saya untuk memulai lagi sesuatu yang sebenarnya saya kacaukan sendiri, he he.

Setelah itu, saya memang menjadi agak malas untuk bertemu lagi, karena... ada perasaan waswas kalau-kalau suaminya mau ikut lagi. Waktu itu suaminya langsung melipir dan memberi ruang, sih. But, I'm just not so ready for it again. Hal baiknya adalah komunikasi kami perlahan kembali seperti biasa. Dan saya merasa senang ketika dia mengirim pesan hanya untuk mengadu, curcol, mengeluh, atau hanya sekedar mengutarakan keinginan receh. I am sure, I slightly smile everytime she chats me late at night just to talk about shit happens or a silly willing for something to eat :))

Teringat perkataan seorang kawan lainnya yang juga sudah menikah: Meskipun sudah menikah, ruang untuk membutuhkan seorang teman itu selalu ada. Jadi, jangan merasa karena dia sudah menikah kamu lantas tidak dibutuhkan lagi

Lalu saya tiba pada sebuah pemikiran: sebagai seorang istri, suami adalah teman hidup selamanya, namun itu bukan berarti sepenuhnya bahwa segala keluhan bisa diutarakan pada suami, di satu sisi tentu tidak ingin membuat suami khawatir, di sisi lainnya juga mungkin karena memang merasa tidak ingin membagikan hal itu pada suami. Maka, tentu saja tetap butuh teman! Alangkah membahagiakan sekali kalau punya teman dan bisa menjadi teman di segala situasi!

Ahh~ itu sebuah pelajaran yang sangat berharga, sih, bagi saya. Hal yang akhirnya terjadi juga--ditinggal menikah oleh sahabat--dan ternyata memang berat, namun semua memang harus berakhir dengan baik.

Setelah peristiwa itu, saya merasa bahwa teman-teman yang saat ini saya miliki sangat berharga! Dari situ, saya pun harus mengupayakan untuk menjadi teman yang baik bagi mereka. Bagaimana pun kondisi kami, kami usahakan untuk bercerita, bahkan menyumpah-serapah sebagai bentuk kekesalan pun kami lakukan. Maka dari itu saya pun memahami bahwa: gila... pertemanan ini berharga sekali!

Dah gitu aja.


*Ternyata terlalu panjang untuk dituliskan dalam satu postingan untuk mencatat pelajaran-pelajaran berharga di tahun ini~

Comments