Day 20 of 365

"... an introvert doesnt like a sudden change." 

Benar demikian. Entah kenapa, khususnya masalah jadwal, kalau tiba-tiba berubah, it could ruin my day. Kemarin hal itu terjadi. Rasanya gemas sekali. Masalahnya, ada sedikit efek domino yang terjadi akibat hal itu. Saya pun jadi sulit fokus karena masih memikirkan itu. Lalu, saya coba untuk segera selesai dengan pemikiran-pemikiran itu. Bagaimana?

#writheraphy jawabannya.

Biasanya kalau sedang merasa gundah gulana atau hal serupa, saya kadang akan memaksa diri untuk menulis. Menuliskan yang saya rasakan sejujur-jujurnya. Mula-mula sih sulit untuk sejujur-jujurnya, namun lama-lama terbiasa juga, dan dengan itu saya jadi bisa menerima diri saya, which is a good thing to happen. Entah bagaimana, frasa: mulailah dari diri sendiri, itu melekat dan sekalinya bekerja, efeknya bagus pada diri saya.

Kasus pertama bisa dibilang ketika saya berusaha memaafkan diri saya yang kecewa berat pada ayah saya. Saat itu saya marah sekali. Tapi lelah juga. Sampai akhirnya, saya tiba pada titik di mana saya bisa berdamai dengan diri saya, lalu berimbas pada memaafkan ayah saya.

Lama-lama... saya berusaha menerapkan itu pada hal-hal lain.

(Khususnya) tahun lalu banyak pelajaran berharga tentang memaafkan dan berdamai dengan diri yang saya pelajari. Selain karena banyak membaca buku-buku tentang psikologi--guna mengetahui apa yang terjadi dalam diri manusia--saya juga banyak belajar dari hubungan dengan K.

Nah, tahun lalu saya mulai membuka diri terhadap diri sendiri dengan cara menulis. Ya, menuliskan hal-hal yang berkelumit dalam kepala. Kalau malu dengan diri sendiri, saya menulis sebagai orang ke-dua. Kalau sangat malu, saya menulis sebagai orang ke-tiga. Rasanya aneh, dan ada kecemasan bahwa itu akan membangun kecenderungan bipolar. Tapi, ada efek yang positif dari itu.

Efeknya:

(1) menulis sebagai orang kedua--saya menjadi bisa melihat dengan jelas, apa sih yang saya rasakan? Penyebab saya merasakan hal itu adalah apa... dengan menulis (berusaha) sejujur-jujurnya, saya bisa melihat hal-hal yang berantakan itu, lalu akhirnya saya bisa melihat sebuah peta dan segalanya jadi lebih teratur;

(2) menulis sebagai orang ketiga--saya bisa melihat dari jarak yang lebih jauh, lalu berusaha melihat dengan lebih jelas. Sebagai orang ketiga artinya saya menjadi orang asing bagi diri saya. Meski demikian, saya belajar untuk menilai diri saya sebagai seseorang yang tidak mudah menghakimi orang lain (yang mana adalah diri sendiri). Efeknya, ya, seperti berbagi cerita dengan orang asing, dan itu cukup melegakan;

(3) menulis sebagai orang pertama--saya lakukan ketika saya merasa butuh mengingatkan diri untuk bersyukur dan melihat lagi apa tujuan yang ingin saya capai, terlepas dari masalah-masalah sepele yang silih berganti.

Tapi pada ketiga efek tersebut, jika digeneralisir, menulis sebagai orang pertama, kedua, ataupun ketiga, efeknya kurang lebih mencakup ketiganya. 

Sayangnya, saya tidak selalu bisa melakukan #writheraphy itu. Ada kalanya saya bahkan tidak sanggup memposisikan diri sebagai orang ketiga (tahapan yang paling jauh yang bisa saya lakukan). Kalau sudah begitu, ya, tentu saya butuh orang ketiga betulan. Beruntungnya, di sana selalu ada kawan-kawan baik yang bersedia saya recoki, he he.

Kasus yang terjadi kemarin, rasanya adalah yang pertama kali saya lakukan; memvalidasi perasaan sendiri secara lebih gamblang. Hal itu saya lakukan di tengah-tengah sedang mengajar. Sebelumnya, saya sangat tidak fokus. Namun, seiring catatan itu selesai, saya merasakan diri saya hadir kembali, lalu daya fokus mulai lebih baik. Tak lupa, dong, saya berterima kasih pada diri sendiri karena telah menulis sebagai orang kedua, di mana saya mengatakan; "It is okay to feel that way. It is being realistic to feel that way, and that is okay."

Hanya saja, malamnya saya merasa kebosanan mulai merundung. Bisa jadi dipicu oleh rasa rindu, dan hal-hal lain yang masih belum mau saya lihat dengan jelas. Saya memaksa diri untuk tidur, mata dan tubuh tidak mengantuk, namun mata saya lelah memandangi gawai berlama-lama. Tidur yang kurang nyaman, karena belum begitu dibutuhkan. Lalu terbangun tengah malah, menyelesaikan ritual malam. Syukurnya masih ada teman untuk mengobrol daring. Kami chatting sampai hampir pukul 2 dini hari! Lalu saya pun lega karena bisa tertidur dengan sedikit perasaan lelah, hehe, berharap hari esok (hari ini) menjadi lebih baik.

Berangkat pagi karena jadwal pertama ini pagi menyenangkan juga. Terlebih kalau cuaca cerah. Namun sayang, siswa pertama tidak datang dengan pemberitahuan yang terlambat :/ saya akan mengalihkan pikiran dari hal kecil yang tidak menyenangkan itu dengan menulis blog ini, hehe.

Setelah ini, apa, ya? 

Comments