Day 79 of 365

Hari Minggu pagi, dengan segala kerumitan isi kepala dan kompleksitas perasaan...

Setelah sekian lama, setelah saya pikir hal  itu sudah hilang, nyatanya masih di sana.

Apa itu?

Ah, sesuatu hal yang cukup menggangggu hingga saat ini.

Beberapa waktu lalu saya merasa saya sudah memaafkannya, tapi lama-lama ternyata belum.

Sebelum membahas itu lebih lanjut, kadang-kadang saya merasa sedang di fase kesal dengan orang dewasa. Meski sebentar lagi nyatanya saya beranjak dewasa, saya masih merasa jauh dari sana.

Begini… tak sedikit saya menghadapi bahwa semakin dewasa… sebuah pasangan, alias tua… yang dalam kehidupan berumahtangga-nya semakin menyebalkan alias menggemaskan alias tidak lucu lagi pada saat harus melakukan gencatan komunikasi dengan alasan menghindari keributan. Tapi, bukannya menghindari keributan, malah yang ada adalah desas-desus di belakang, yang mana hal itu lebih menyebalkan lagi.

Untuk lebih jelasnya, ini adalah yang saya amati dari kedua orangtua saya.

Hal itu sudah cukup lama terjadi. Makin menjadi-jadi ketika kami, anak-anaknya, sudah memasuki usia yang orang-orang katakan ‘dewasa’. Ya, kami menua, lalu dipaksa mendewasa. Dipaksa untuk memaklumi hal-hal yang seharusnya bisa mereka selesaikan berdua. Kami, mungkin tidak dianggap sepenuhnya sebagai individu yang butuh ruang mandiri untuk hidup, namun terus direcoki dengan tanggungjawab tak terlihat dan tak terucap, pun sekaligus diminta untuk bergantung terus.

Situasinya seperti berada di antara dua hal yang saling kontradiksi. Di satu sisi, saya (pribadi) merasa selalu dituntut untuk tumbuh mandiri—melakukan apa-apa sendiri, berusaha berdiri di atas kaki sendiri dan lainnya. Namun, ketika bertumbuh dan sudah terbiasa dengan kesendirian dan apa-apa sendiri itu, tiba-tiba saya (merasa) direcoki oleh kewajiban sebagai anak—yang harus sedia membantu orangtuanya—terutama ayahnya. Sebagai anak perempuan—yang dididik untuk selalu mandiri—saya jelas merasa ada pemberontakan dalam diri ketika tau-tau disuguhi kewajiban untuk melayani ayah. Menyiapkan makanan, menghidangkan makanan, membereskan bekas makan, mencarikan pakaian yang hendak dipakai—beberapa contohnya itu. Kenapa memberontak? Kan hal itu memang sudah sewajarnya…

Ya, kelihatannya seperti itu. Namun… rupanya memori masa kecil saya menyimpan kenangan-kenangan dan membentuk pola tersendiri. Sekarang ini saya mulai merasa bisa menelaahnya. Bahwa… dulu, ketika saya ada tugas-tugas yang mengharuskan membuat prakarya, salah satunya tas kardus untuk keperluan MOS SMA, ketika saya butuh bantuan, ayah saya hanya memberi instruksi, alias tidak turun tangan langsung. Pada saat itu tentu ada rasa kesal—sebagai anak, saya merasa gagal memiliki orangtua yang siap membantu. Entah apa alasannya, tapi sisi baiknya adalah saya sedang dilatih untuk mandiri. Baiklah…

Kebiasaan kecil untuk selalu berusaha sendiri itu pada akhirnya menjadi baik bagi saya di masa kini. Pun, hal itu didukung pula oleh ‘doktrin’ dari ibu saya yang selalu mengatakan bahwa kami (sebagai perempuan) harus bisa berdiri di atas kaki kami sendiri, tidak perlu mengandalkan orang lain, apalagi laki-laki. Maka dari itu, terbentuk dalam mindset saya, yah… kurang lebih seperti itu. Saya pun menjadi agak keras kepala, mati-matian berusaha sendiri, ditambah lagi idealisme perfeksionis saya. Apakah itu yang menyebabkan saya merasa susah berbaur dengan sosial? Tidak mudah ‘turun tangan’ untuk membantu orang lain dalam urusan sepele karena dididik untuk berusahalah sendiri?

Sampai kemudian, seorang anak laki-laki masuk kek kehidupan saya. Dan kini sudah hampir 10 tahun kami tumbuh bersama…

Saya, yang pada mulanya sekeras batu dan sedingin es, lambat laun melunak dan menghangat. Bersamanya, saya belajar menjadi lebih manusiawi. Dengannya, saya mendapat pelajaran-pelajaran berharga untuk nimbrung menjadi makhluk sosial yang bersosialisasi. Darinya, saya merasakan sensasi yang menyenangkan ketika dibantu dalam melakukan hal-hal yang saya rasa sulit. Darinya, saya belajar bahwa mendapat bantuan membuat kita semakin ingin membantu orang lain. Dia, yang tumbuh sendirian, membuat saya merasa terobati karena dia bukanlah sosok laki-laki yang mau menang sendiri—istilahnya sih, tidak patriarkis.

Itu adalah sedikit intisari pelajaran hidup yang saya dapat dengan bersamanya. Selama waktu yang tidak sebentar, kami tentu banyak mengobrol. Dari yang mula-mula hanya obrolan ringan yang hanya merupakan topik-topik yang mudah diambil pada permukaan, lambat laun kami menyelam. Kami perlahan membahas topik-topik yang sensitif dan semakin esensial. Dari keberanian yang dipaksakan, kami pun mulai membahas hal-hal yang menimbulkan luka, kami berusaha memeriksa luka yang disebabkan oleh itu, lalu kami sama-sama mencari akar dari permasalahannya, hingga akhirnya kami tiba pada kesepakatan bahwa kami akan sebisa mungkin menyembuhkan diri, memaafkan masa lalu, dan berusaha tumbuh lebih baik demi anak-anak yang akan hadir di masa depan (jika Tuhan mempercayakan mereka pada kami).

Ah, poin pentingnya adalah… di saat saya merasa ketakutan dan terbebani akan ‘kewajiban’ dan ‘stereotip’ kehidupan sebagai perempuan terhadap laki-laki, dia datang seperti jackpot! Di awal, saya menegaskan akan hal-hal yang tidak mahir saya lakukan, selayaknya—sebagaimana perempuan seharusnya, salah satunya memasak dan bermanis-manis. Tanggapannya? Dia biasa saja menanggapi hal itu dan tidak mempermasalahkannya. Ternyata, dia dididik oleh ibunya (seorang diri) untuk menjadi manusia yang terlahir berjenis kelamin laki-laki. Ya, sebagai manusia. Kebetulan saja laki-laki. Ya, sebagai manusia yang bahwa kegiatan seperti memasak, beberes rumah, mencuci, dan hal-hal esensial lainnya, ya merupakan kemampuan yang harus dimiliki manusia, bukan hanya perempuan. Di situ saya merasa saaaaaaaangat legaaaa bahwa ternyata masih ada sosok laki-laki yang tumbuh dengan pemikiran seperti itu. Rasanya, ketakutan saya untuk kelak hidup berdampingan dengan laki-laki seumur hidup sirna. Kekhawatiran terbesar saya adalah selalu merasa gagal menjadi sosok perempuan karena tidak mahir memasak pun tidak telaten mengerjakan pekerjaan rumah. Dipertemukan dengannya sungguh sebuah berkat!

Dia membuat saya berani untuk membuka mata dan keluar dari tempurung ketakutan saya terhadap opini stereotip tentang menjadi seorang perempuan. Dia pula yang terus mendukung saya dengan kemampuan saya yang sedikit ini. Dia membantu saya menjadi makhluk sosial yang lebih toleran. Dia, membuat saya mengenali diri saya lebih dalam. Dan dia tidak keberatan dengan kekurangan-kekurangan yang ada pada diri saya.  Dia tidak pernah menunjukkan perasaan superiornya sebagai laki-laki. Saya malah selalu merasa bahwa saya punya privilege sebagai seorang perempuan. Maka dari itu, saya selalu merasa lebih hidup ketika bersamanya, merasa bahwa meski dunia sedang tidak baik-baik saja, setidaknya saya merasa aman ketika bersamanya. Yang paling penting: saya bisa menghargai diri saya sendiri semenjak bersamanya.

Ah… sudah malas membahas permasalahan utama karena sudah merasa nyaman—padahal hanya menceritakan tentang dia. Baiklah, kapan-kapan lagi, ya!

Comments