Day 86 of 365

Perjalanan berdamai dengan kesepian--perjalanan berbincang dengan kesendirian

Not the very best day in a week. I always have a kind of love-hate relationship with Sunday.

Saya menyebutnya dengan ‘Sindrom Hari Minggu’, sementara bapak Viktor Frankl memiliki istilah sendiri yang tidak mudah saya ingat sehingga tentu lebih mudah menggunakan istilah yang saya buat sendiri. Gejalanya sama. Intinya, ini sejenis depresi yang dialami oleh orang yang terbiasa bekerja sepanjang pekan, lalu tiba-tiba tidak punya banyak ‘pekerjaan’ di hari Minggu yang membuat orang seperti saya ini merasakan kehampaan. Maka, hari Minggu bukan menjadi hari yang paling saya tunggu jika mengingat saya akan gabut setengah mati. Namun, bisa juga menjadi hari yang saya tunggu-tunggu ketika saya punya agenda seru yang akan dilakukan pada hari Minggu.

Setelah lama struggling melewati hari Minggu yang membosankan dan sering membuat saya sakit kepala parah, yang berlanjut hingga keesokan harinya, akhirnya saya menemukan istilah psikologinya ketika membaca buku pak Frankl. Setelah menemukan istilah itu, saya bahagia karena tidak merasa aneh. Ternyata, orang-orang yang mengalami kegabutan parah seperti itu bukan hanya saya, dan hal itu sampai-sampai diakui oleh bapak Frankl, seorang psikolog.

Hari ini, seusai kontrol ortodontis, sebenarnya saya punya agenda untuk menghabiskan hari Minggu yang membosankan ini. Tapi, pada akhirnya urung saya laksanakan atas berbagai alasan. Alih-alih begitu, selesai dari klinik saya malah berkendara jauh—rute yang biasa saya tempuh kalau sedang ingin mengurangi beban pikiran dan/atau hati. Hal itu terjadi secara tidak sengaja. Gagasan itu sempat melintas dalam pikiran, tapi tidak saya gubris, eh malah kejadian.

Biasanya saya tidak akan berkendara jauh, kecuali sedang benar-benar penat. Hari ini tidak demikian. Pikiran saya tidak terlalu penat, tapi lumayan padat. Isinya seperti pikiran-pikiran tak jelas dan tak penting. Ibarat meja belajar, pikiran saya berisi kertas-kertas ulangan yang sudah lama sekali, lalu ada kertas oret-oret hasil belajar semalaman sebelum ujian, dan buku-buku catatan yang bertumpuk tak beraturan. Semua itu berasal dari masa ketika SMA, yang mana sudah berlalu 10 tahun. Tentu hal-hal seperti itu sepatutnya dibuang, kan? Nah, begitulah kondisi pikiran saya.

Mau tak mau, saya mencoba untuk menikmati perjalanan itu. Berkendara dengan santai, sambil mengobrol dengan diri sendiri.

Jadi, dua hari lalu saya mencatat sebuah tips untuk menangani perasaan kesepian. Salah satunya adalah dengan mencoba menikmati kesendirian itu alih-alih merasa kesepian. “Temanilah dirimu sendiri, berbincanglah, dan pahamilah dia,” kira-kira begitu.

Dan itulah yang coba saya lakukan siang tadi.

Ah, saya kadang suka sekali keluar pada siang hari di hari Minggu. Bukan pagi, bukan sore. Karena pada siang hari jalanan agak sepi. Orang-orang entah berada di rumah, beristirahat, atau berada di tempat-tempat wisata. Jalanan terasa lebih tenang. Meskipun terik. Tapi kadang saya menikmati hari yang terik. Rasanya terkena sinar matahari menghidupkan sel-sel dalam tubuh saya, entah itu sel apa. Saya juga membaca bahwa pada saat tubuh terkena sinar matahari, maka tubuh kita akan terstimulus untuk memproduksi hormon bahagia. Sejak saat itu, saya selalu percaya bahwa terkena sinar matahari adalah hal yang baik bagi saya yang sedikit-sedikit merasa stress ini. Tidak pilih-pilih juga. Selama bukan matahari senja, saya suka.

Lanjut lagi… Kalau biasanya saya berkendara sambil nangis-nangis dan ngedumel tentang betapa stressfulnya sepekan itu, tadi saya mencoba untuk menanyakan kabar pada diri saya, lalu berterima kasih, lalu berusaha memahami diri dengan mengatakan hal yang biasanya tidak bisa saya katakan. Pada saat-saat seperti itu, saya memang biasanya berbicara seolah saya ini orang ke-dua yang berbiacara pada diri saya. Lebih sering mengambil peran sebagai ‘kakak’ yang mengayomi adiknya, atau sekedar ‘kawan’ yang berusaha memahami kawannya.

Biasanya saya akan menjadi pihak yang kontra akan keadaan dan pemikiran saya sendiri. Namun tadi, saya berusaha hadir sebagai diri saya sendiri saja, tapi dari sisi lain—sisi yang tidak tersentuh oleh penatnya rutinitas, sisi yang tidak merasakan secara langsung perasaan stres—atau bahkan depresi minor—dan perasaan galau, sisi yang ‘normal’ dan (seolah) tidak punya masalah hidup, tapi sisi itulah yang selalu berada di samping saya sehari-hari sehingga dia pasti tau perasaan saya atas hal-hal yang saya hadapi.

Mula-mula, kami mengobrol biasa. Lalu dia pun mulai mengutarakan hal-hal yang saya sendiri tidak pernah bisa mengungkapkannya dalam kata-kata. Seperti:

“Kamu sedang ingin membuang pikiran-pikiran using, ya? Kamu sedang mencoba merelakan gagasan-gagasan yang dulu pernah dengan semangat kamu ungkapkan dan bahkan pernah menjadi mimpi yang ingin kamu capai dengan ambisiusnya, ya?”

“Iya…”

“Ah, salah satunya tentang impian untuk menikah, kan? Sekarang kamu akan melepaskan mimpi itu… Dalam artian mimpi itu dulu kamu beri tenggat waktu, padahal ternyata kamu tidak sepenuhnya bisa mengendalikan peristiwa itu. Itu urusan Tuhan. Bagus kalau kamu menyadarinya, dan hendak melepaskan ambisi atas batasan waktu yang kamu tetapkan untuk terwujudnya mimpi itu.

“Ya, kamu menyadarinya juga, kan, sekarang. Bahwa meskipun teman-teman dan bahkan adik-adik kelasmu sekarang sudah semakin banyak yang menikah, bukan berarti kamu pun harus ikut-ikutan menikah. Ya, tentu saja setiap orang akan punya timeline-nya masing-masing dan kamu tidak harus selalu terpaku pada timeline mereka. Kehidupanmu dan mereka tentu tak sama. Hal-hal yang sudah kalian lalui pun tidak sama. Jadi, kenapa harus mengikuti arus?

“Bagus kalau kamu sudah menyadari itu dan benar-benar mencoba untuk merelakan, memasrahkan, letting go that idea. Dalam artian, itu sudah bukan lagi menjadi fokus utamamu, yang hanya membuatmu tidak fokus pada hal-hal yang sebenarnya ada di depanmu.

“Hal itu menjadi baik karena kamu jadi bisa hidup untuk saat ini. Sesekali memang boleh saja melihat ke belakang, tapi itu untuk mensyukuri bahwa kamu sudah melangkah sejauh ini untuk sampai di titik yang sekarang. Lalu, bagus juga untuk merancang masa depan. Hal itu membuat kamu merasa bersemangat untuk melakukan yang lebih baik lagi setiap harinya, kan? Itu bagus. Yang mungkin selama ini salah adalah betapa kamu terlalu sibuk merancang masa depan itu sampai sedetail mungkin sampai-sampai tidak fokus untuk melakukan yang lebih baik lagi hari ini.

“Terima kasih karena sudah menyadari itu. Terima kasih karena sudah mau merelakan gagasan-gagasan yang sudah usang, setidaknya kamu sudah mencoba dan memang bertekad untuk membuangnya, kan. Terima kasih untuk itu. Hiduplah dengan ringan, Mi. Hiduplah dengan tenang dan tanpa tuntutan. Toh, tidak ada yang menuntutmu untuk segera menikah, kecuali diri sendiri yang seringkali merasa membutuhkan orang lain untuk memberi dukungan dan rasa nyaman ketika kamu tidak bisa menyangi diri sendiri. Tidak apa-apa. Hal itu wajar. Tapi sungguh, terima kasih karena sudah mulai berani untuk membuka diri pada pikiran yang lebih realistis.

Ya, kamu menjadi lebih realistis sekarang. Sudah kurang tertarik mengkhayalkan masa depan yang entah kapan terwujud. Meski kamu sendiri pun sering tiba-tiba cekikikan karena sedang memikirkan masa depan yang menyenangkan, hehe. Terima kasih karena mau berpikir realistis dan mulai bisa membedakan mana hal yang bisa diperjuangkan secara riil, dan mana yang hanya bisa dibicarakan seperlunya saja karena masih berupa impian.”

***

Sayangnya ingatan saya hanya sebatas itu. Tapi, bagian terbaiknya, ya, itu.

Dari proses itu saya merasa sudah lebih memahami diri saya sendiri, sedikiiiiiiiiiiiiit lebih bisa memahami diri ini. Ada perasaan lega. Seperti perasaan berbaikan dengan kawan lama yang sudah tidak kamu ajak bicara. Terdengar seperti orang gila, ya? He-he.

Kepala saya—pikiran saya—terasa agak lebih ringan setelahnya. Ya, kira-kira rasanya seperti sudah membuang sampah-sampah kertas dari atas meja belajar. Masih ada buku-buku bertebaran dan debu tebal yang menempel memang. Tapi setidaknya sudah lebih sedikit benda usang yang harus disingkirkan kali berikutnya.

Sekian. Hari sudah memasuki malam hari. Senin akan segera menjelang, semoga perasaan saya semakin baik karena hari bekerja akan datang~

Comments