Day 99 of 365

 Positivity Challenge

Terhitung sudah sepekan berjalan. 

Saya menerima sebuah tantangan dari seorang kawan yang saya sebut sebagai konsultan. Konsultasn psikis, hehe. Beberapa waktu belakangan, saya banyak bercerita tentang hal-hal kelam yang saya (rasa) alami. Di luar dugaan, ternyata orang seperti dialah yang saya butuhkan. 

Dengan senang hati, ia bilang akan selalu siap mendengarkan cerita saya dan akan selalu berusaha ada saat saya dirundung suasana gelap yang tidak pernah membuat saya nyaman. Pertama kali, tentu saya awas dengan keterbukannya itu. Namun, saya salah. 

Kali kedua pun tiba, saya yang coba menghubunginya terlebih dahulu. Memulai pembahasan dengan basa-basi singkat, lalu langsung tembak ke inti permasalahan.

Tahapannya, kalau saya ingat-ingat, sih... dia merasa khawatir karena cuitan saya nampak terlalu bermuatan energi negatif. Ia pun memberi nasihat dan menyarankan saya untuk mengkonsumsi obat penenang. Kemudian, kali kedua... saya mengadu padanya bahwa betapa perasaan-perasaan gelap kembali menyelubungi perasaan saya, membuat pikiran saya berkabut, dan seolah pandangan saya buram. Pandangan batin, mungkin lebih enak disebut demikian supaya jelas.

Usai membagi semua pikiran yang seperti polusi udara itu, saya merasa begitu lega. Tidur pun seolah tanpa beban, berbeda dari malam-malam sebelumnya, ketika saya masih berusaha menahan perasaan-perasaan negatif itu dengan tameng yang menipis. Bangun pagi, sakit punggung dan pinggang saya hilang. Sesaat saya takjub, lalu bersyukur. Betapa tidak mengada-ada efek psikis yang kurang baik terhadap tubuh fisik, ya!

Kali ketiga, saya kembali menghubunginya. Hal itu saya lakukan karena sudah merasa helpless dan hopeless. Dalam penglihatan saya, saya melihat diri saya (entah bagaimana), sedang terkulai lemas di tengah sebuah kamar yang lumayan besar--pada senja menjelang malam, atau malah malam hari--dengan keadaan lampu yang tidak menyala, namun masih ada sisa-sisa cahaya entah dari mana yang menyinari ruangan itu.

Tentu tidak cukup! Ruangan itu terasa sangat suram. Saya di sana sangat kelihatan tidak berdaya. Saya berusaha bangkit, namun percuma saja. Tidak ada cukup energi dalam diri saya untuk bangkit dan menguatkan pijakan hanya untuk berdiri. Saya berharap seseorang datang dan membuka pintu untuk memapah atau sekedar menyangga saya yang ingin berdiri.

Dia bilang, semua itu sudah ia alami. Kisah yang saya ceritakan pada komunikasi pertama kami mengenai isu ini, kisah kedua pada komunikasi kedua, hingga kisah ketiga.

Ketika dia mengatakan mengerti apa yang saya coba ceritakan, saya merasa seolah saya akhinya menemukan pintu yang tepat untuk numpang berteduh!

Di akhir komunikasi ketiga itu, ia pun memberi tantangan kepada saya untuk terus mencuitkan hal positif, tak peduli se-semrawut apapun isi pikiran dan hati saya.

Menurutnya, doa bukan hanya pada ucapan yang kita lontarkan, tetapi juga bisa dalam bentuk cuitan singkat nan spontan yang kemudian diaminkan oleh orang lain secara sengaja maupun tidak. Intinya, dia meminta saya untuk mengurangi sambat dan memperbanyak akting layaknya hidup ini penuh berkah yang patut disyukuri.

Dia bilang akan terus mengawasi cuitan saya selama sebulan. Memantau kalau-kalau ternyata saya kecolongan sambat atau menciutkan sesuatu yang bermuatan negatif.

Setelah sepekan, saya pun merasakan dampak positif dari menerima tantangan itu. Dampaknya adalah saya menjadi terfokus pada hal-hal positif! Setiap merasa agak kesal atau kecewa terhadap sesuatu, saya bisa meng-counter-nya menjadi perasaan penuh syukur atas hal-hal yang ternyata dulu pernah saya impikan dan saat ini sudah menjadi kenyataan.

Semoga tantangan ini bisa saya jalankan dengan baik. Semoga tantangan ini akan bisa sedikit merubah persepsi saya tentang rencana dan realita dalam kehidupan. Semoga ini tidak akan berhenti saya lakukan meski sudah selesai masa tantangannya.

--
PS: hari ini esai pertama saya terbit! Inti pembahasannya sudah sangat ringkas (thanks to the miss editor). Isinya kurang lebih seperti yang ada pada postingan ini. Namun tentu saja sesudah saya pikirkan lagi, ternyata kita memang hanya akan bersyukur. Apapun itu, fokus saja pada hal apa yang akan dilakukan setelah yang ini selesai.

Dari naskah asli esai yang hari ini terbit, ada satu cabang yang cukup kuat untuk dipisahkan dari pohon utamanya, yang dipisahkan oleh miss editor untuk kemudian saya kembangkan lagi menjadi sebuah esai baru. Wah! 

Kemarin, saya mendapat sebuah pelajaran tenatng perbedaan menulis untuk dinikmati publik dengan menulis untuk kebutuhan pribadi, alias blog. He-he-he. 

--
Sekian, ya! Saya mengantuk sekali 😪😪


Comments