Day 216 of 365

 Makna Pulang

Selama tidak genap sebulan tinggal jauh dari rumah tentu memberikan saya pengalaman yang tak terlupakan. Selain pengalaman, ada pula penemuan-penemuan yang saya dapati tentang diri sendiri.

Hal yang paling kentara adalah betapa rasa nyaman di rumah itu benar-benar berbeda ketika kita sekali jauh dari rumah. Bukan sesuatu yang mudah bagi saya untuk tinggal jauh dari rumah. Jangankan begitu, mampir lama ke tempat orang lain saja bisa membuat gusar, apalagi harus menginap 3 malam 4 hari.

Pengalaman yang melelahkan bukanlah pada siang hari ketika sibuk-sibuknya running acara, melainkan di sepanjang malam. Waktu yang seharusnya saya gunakan untuk mengistirahatkan raga yang sudah lelah babak belur, malah tidak bisa dikarenakan oleh kondisi jiwa yang tidak tenang. 

Berada jauh dari rumah menimbulkan sensasi menyiksa pada jiwa saya. Segala sesuatu yang asing betul-betul merupakan sebuah siksaan rasanya.  Terlepas dari rendahnya kemampuan saya untuk beradaptasi di tempat baru, faktor lainnya berasal dari diri saya sendiri. Pikiran saya yang terlalu aktif untuk membuat kemungkinan-kemungkinan buruk tentu menyebabkan saya mengalami kesulitan tidur. Belum lagi kesunyian malam yang keterlaluan.

Semua malam-malam yang sepi itu berhasil saya lalui berkat seseorang yang rela bertelepon semalam suntuk untuk menemani saya. Rasa syukur yang sangat besar tentu saya ucapkan atas itu.

Hari yang paling ditunggu-tunggu tentu saja hari untuk pulang. Meski sudah lelah beraktifitas sejak 3 hari sebelumnya, selalu ada energi khusus pada hari pulang. Tidak peduli selelah apapun di tempat kegiatan, saat waktunya pulang pasti menjadi hal yang menyuntikkan semangat!

Setiap pulang, hati saya menjadi ringan. Semakin dekat dengan rumah, hati saya semakin ringan. Dan kelegaan muncul saat saya sudah tiba di jalan yang biasa saya lalui sehari-hari di sekitar rumah.

Pada pekan pertama, kembali ke rumah dan bertemu keluarga terasa sungguh melegakan. Masuk ke kamar dan berbaring di kasur pribadi memang memiliki sensasi yang berbeda. Semua menimbulkan rasa nyaman. Sebuah sensasi yang sangat menentramkan jiwa setelah berada jauh dari rumah.

Anehnya, pada pekan ke-dua saya tidak se-semangat itu untuk pulang ke rumah. Pekan ini adalah saat di mana saya mendapati makna pulang yang lebih luas. Ternyata, selain pulang ke rumah dan bertemu keluarga, saya merasa kembali pulang saat bertemu dengan si comfort person yang selalu bersedia menemani tidur saya selama berada jauh di tempat rantau. 

Pekan ke-dua, sama hari pulang, tapi sesuatu dalam tubuh saya ingin pulang bukan ke rumah. Sesuatu itu adalah jiwa. Jika mempercayai istilah belahan jiwa, maka saya akan mengatakan bahwa jiwa saya yang separuh ini--yang sudah rapuh dan lelah menahan segala tantangan di tanah rantau--ingin segera pulang berjumpa dengan separuh lagi dari jiwa saya. Keutuhan jiwa merupakan hal yang saya idam-idamkan pada pekan ke-dua ini. Entah kenapa dan bagaimana. Meski sangat ingin segera rebahan dan memejamkan mata, semakin dekat dengan rumah, saya semakin punya percikan energi untuk melanjutkan sedikit lagi perjalanan untuk bertemu dengan belahan jiwa, lalu 'pulang' dan 'merebah'.

Benar saja! Begitu tiba dan bertemu dengan si comfort person, ada lelah yang hilang, ada gundah yang sirna, ada rindu yang lepas. Tentu saja ini terkesan sangat bucin, tetapi ini adalah deskripsi termudah untuk menjelaskan apa yang terjadi pada diri saya.

Saat itu saya jadi pulang terlambat ke rumah (bangunan yang ditinggali keluarga). Tentu orangtua saya khawatir karena saya pulang dari jauh tapi terlambat. Bagaimana dengan energi saya? Bukankah saya butuh istirahat? Ya, benar. Tetapi ada yang selain raga yang perlu pulang lebih dulu. Itulah yang terjadi. Hal yang selanjutnya saya lakukan adalah meyakinkan orangtua bahwa saya tidak lelah dan masih ada energi untuk berkegiatan sampai terlambat pulang.

Begitupun yang terjadi pada pekan ke-tiga. Rasanya agak gila memang, tapi jika saya resapi kembali, semua itu terasa normal dan seperti yang seharusnya terjadi. Saya tentramkan jiwa saya dulu karena ternyata raga saya bisa lebih tangguh daripada jiwa saya. Tentu saja! 

Dan setelah itu semua, setelah pengalaman merantau yang singkat, saya disadarkan pada sebuah fakta bahwa pulang bisa memiliki banyak makna. Pulang bukan hanya kembali datang pada sebuah bangunan yang biasa dihuni, namun juga kembali bertemu dengan seseorang yang menumbuhkan sensasi nyaman dan perasaan aman ketika berada bersamanya. 

Sejak saat itu, saya masih terus dibayangi tentang makna pulang. Selain itu, bertambah lagi. Saya sedang mencoba untuk memperluas makna lain dari keluarga. 

Dan... beginilah Semesta bekerja.

Saya sedang merasa kurang nyaman di rumah dengan keluarga karena oknum keluarga, lalu Tuhan mengatur agar di SemestaNya yang luas ini saya mendapat keluarga baru, tempat pulang baru, dan otomatis semua itu merujuk pada ketenangan jiwa.

Hingga pada suatu malam, saya pernah menangis di jalan karena harus pulang ke rumah padahal saya sudah di 'rumah' dan sudah 'pulang'. Namun, begitulah...

Kini, nyata bedanya raga dengan jiwa saya dari segi kebutuhan. Seperti gelembung balon, kebutuhan raga dan kebutuhan jiwa saya terpisah pada gelembung yang berbeda. Hal yang membuat saya gelisah hanyalah persoalan tentang bagaimana menyatukan kedua gelembung tersebut.

Semoga Tuhan memudahkan segala prosesnya. Aamiin.

Comments