Ingin Menjadi Diri

 Kemarin, bahan pembahasan dengan diri sendiri di perjalanan pulang kerja ialah tentang rasa ingin membebaskan diri.

Dari apa saja?

Memangnya selama ini tidak bebas?

Seiring dibahas, ternyata ada yang membelenggu di alam bawah sadar. Bisa apa saja. Dalam kasus saya, sepertinya tentu terkait apa yang telah terjadi di masa kecil. Bisa jadi, sejak kecil dilarang ini-itu tanpa penjelasan terkait konsekuensi ataupun pemberian solusi menjadi sebabnya.

Apa?

Ada perasaan takut. Takut untuk mencoba, takut ketika disuruh mencoba, takut memilih, takut memutuskan, dan yang lebih parah... takut untuk mengungkapkan pilihan (meskipun sudah penuh pertimbangan).

Rasanya saya sedang ingin membebaskan diri dari perasaan takut yang sudah lama terbentuk itu. Resolusi sejak tahun lalu (dan mungkin juga tahun-tahun sebelumnya) adalah untuk tumbuh menjadi lebih berani.

Ya! Untuk pertama kalinya, tahun lalu saya dapat kesempatan untuk tinggal jauh dari rumah karena urusan pekerjaan. Untuk hal itu, saya ternyata berani.

Tapi, ternyata bukan berani yang itu yang sebenarnya saya inginkan. Untuk sensasi tinggal jauh dari rumah sebenarnya tidak terlalu butuh keberanian. Rasa ingin tahu saya yang mengasup cukup keberanian yang dibutuhkan untuk itu. He he he😁

Ternyata... keberanian yang saya inginkan dan butuhkan ini adalah sebuah keberanian untuk menjadi diri sendiri di hadapan orang-orang terdekat dalam keseharian saya (baca: keluarga).

Setelah memiliki beberapa lingkaran berbeda dalam kehidupan sosial, ternyata ada sisi-sisi dari dalam diri saya yang saya baru sadari keberadaannya.

Bagaimana?

Saya senang saat menjadi sisi saya yang itu dan itu dan itu. Ah! Tapi, tidak semua sisi yang baru tersingkap itu bisa saya tunjukkan di depan keluarga saya.

Kenapa?

Karena ada perasaan takut. Saya takut bahwa sisi diri saya yang demikian itu adalah sisi yang di luar hal "normal" dalam pandangan keluarga. Saya takut bahwa sisi itu terlihat "liar" atau "salah". Padahal, saya sendiri tidak menganggap hal itu sebagai sesuatu yang melenceng.

Ya. Perasaan takut itu membayangi saya dan menghalangi untuk menunjukkan sisi diri kepada orang-orang terdekat.

Kenapa, sih?

Karena... terlalu banyak kritik yang saya dengar terkait boleh ini atau tidak boleh itu di sekitar saya. "Aturan" yang terlontar ditujukan kepada kelakuan sepupu-sepupu saya. Kritik yang muncul akibat kesalahan yang dilakukan, atau perilaku yang kurang baik (yang padahal sebenarnya bisa dipandang sebagai hal biasa saja).

Secara tidak sadar,  jiwa saya menerima itu semua dalam bentuk yang mungkin kurang tepat. Ya, itu tadi; sebuah perasaan takut yang berlarut-larut.

Takut terhadap kritik atau teguran kalau melakukan sesuatu yang "kurang benar". Takut kalau melakukan hal yang serupa dengan hal yang telah dipermasalahkan. Jadi takut pada banyak hal. Padahal belum terjadi!

Jiwa saya pun secara tak sadar merefleksikannya menjadi sebuah sifat perfeksionis; tidak boleh ada cela. Hal itu tentu agak sulit karena manusia memang tidak sempurna, pasti ada celanya.

Lantas, bukankah itu jadi menyiksa?

Ya.

Itulah belenggu yang membatasi kebebasan untuk mengekspresikan diri yang terjadi pada diri saya.

Tidak pernah mencoba untuk mengekspresikan diri di depan orang-orang terdekat?

Pernah, tentu saja. Tapi, seperti yang sudah diperkirakan, ada hal normal yang tidak diwajarkan sehingga hal itu seolah menjadi suatu kesalahan. Maka, saya pun masih enggan untuk mencoba lagi. Belum ada cukup energi.

Keinginan saya tahun ini, masih mirip dengan tahun lalu dan tahun-tahun sebelumnya, yaitu ingin tumbuh dengan cukup keberanian untuk menjadi diri sendiri, tanpa takut akan penilaian dan standar benar dari orang lain.


Sungguh—

Comments