Hello, Thirty!
It's almost a month ago.
Akhirnya usai sudah masa Saturn Return, akhirnya masuk kepala-3, akhirnya... oh, begini rasanya jadi mbak-mbak tiga-puluh tahun...
Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, perasaan risau, gelisah, sungkan, canggung, dan lain-lain kali ini tidak hadir. Yang hadir adalah pemikiran-pemikiran tentang pencapaian hidup yang kalau dipikirkan, lho, apa aja, ya? Trus, akan apa, nih, ke depannya? Lalu, ya, sudah, hidup terus berlanjut pada keesokan hari dengan rutinitas yang masih serupa, dengan hal-hal kecil bertebaran yang patut diingat dan disyukuri.
Pokoknya, memasuki usia baru kali ini tidak segelisah sebelum-sebelumnya. Rasanya biasa saja, tapi ada perasaan bahwa tanggung jawab dan hal-hal lain bertambah. Makin banyak umurnya, makin banyak juga sepertinya ekspektasi orang-orang, ya? Ah, nggak usah dihitung! Hal-hal yang berasal dari luar jangan terlalu dibawa pikiran, toh, isi pikiran sendiri pun sudah banyak membludak, ya!
Instead of feeling overwhelmed, saya malah merasakahn sensasi ketenangan, kelempengan, dan banyak diingatkan untuk bersyukur (oleh diri sendiri, oleh orang-orang sekitar, oleh kejadian-kejadian di sekitar). Rasanya kayak pengen rehat dari perasaan-perasaan yang penuh gejolak; anxiety, fear, overthinking, dan perasaan-perasaan yang tidak nyaman.
Setelah sekian lama hiatus menulis, oh, tulisan saya berantakan sekali T_T
Hari-hari usia dua-puluh-tujuh tahun itu saya isi dengan rajin menulis jurnal dalam upaya menyadarkan mental supaya tidak tenggelam dalam ilusi yang menyesatkan. Hal itu bertahan satu-dua tahun, sampai semangat membeli buku-buku notes lucu, tak lupa bolpen warna-warni juga! Menulis pun sangat membantu saya untuk aware and conscious terhadap hari-hari yang bergulir dalam hidup. Apa saja yang telah terjadi, hal menyebalkannya apa, seberapa menyebalkannya itu, hal yang menyenangkan apa, kenapa menyenangkan, dan sebagainya. Sangat-sangat membantu; ibarat tali pegangan di jalan gelap. Berkat rajin menulis jurnal, rasanya lama-lama saya bisa 'pulih'. Menulis ibarat obat juga, ih! Kalau pusing atau pikiran mulai ngadi-ngadi, dengan menulis, jadi bisa terbedakan mana yang riil, mana yang hanya prasangka.
Sejak pertengahan tahun lalu, atau bahkan awal tahun lalu, saya mulai 'malas' menulis. Banyak penyebab yang bisa dijadikan kambing hitam; terlalu sibuk, energi habis tak tersisa untuk menulis, hal-hal sudah terlalu nyata dan bisa mengalahkan pemikiran-pemikiran delusional. Alhasil, saya berhenti menulis. Kadang, kalau sempat dan 'bisa', saya menulis untuk blog ini, tapi seringnya sih nge-tweet.
Hampir satu tahun sejak 'lepas obat', menjalani LDR, dan berusaha berkegiatan sesadar mungkin, melakukan hal-hal menyenangkan; hiking, olahraga bareng, self-reward, jajan kopi mingguan, belanja buku bulanan, kembali membaca buku, dan se-sempat mungkin menulis. Semua terasa aman, kecuali jam tidur :/
Sepertinya sejak 2023, anxiety mulai menyebabkan kesulitan tidur. Bisa tidur asal ditemani, dalam hal ini maksudnya ditemani via telepon atau dikawal mengobrol via chat. Lama-lama, hal itu menyebabkan ketergantungan. Kalau tidak, tidurnya harus sambil mendengar musik atau podcast; pokoknya harus ada yang bersuara sampai saya terlelap. Mulai merepotkan lagi, ya...
Saat mau coba obat lama, alias menulis, alasannya masih sama; tak punya energi lagi untuk menulis, terlalu lelah untuk mengingat kembali yang sudah dilalui hari itu (dengan susah payah). Dengan kata lain, obat lama sudah tidak mempan. Butuh obat baru.
Sebelum memasuki era LDR, lumayan terkendali si jam tidurnya. Tapi... setelah itu, dengan perbedaan waktu lima jam, entah bagaimana, jam biologis ini pun turut mundur; menyesuaikan dengan selesainya jam kerja K di tanah rantau sana. Entah bagaimana, kecuali lelah banget atau kurang sehat, tidur bisa lelap kalau sudah terhubung dengan K--even cuma telepon tersambung tanpa bicara! Tak butuh waktu lama, kecuali efek kafein, pasti terlelap.
-
Kembali membahas bagaimana kesan menjadi mbak-mbak tiga-puluh-tahun, ternyata masih banyak hal yang perlu saya pelajari untuk bisa menjadi orang dewasa pada umumnya, ya. Tapi sebenarnya kan tidak ada patokan hal-hal apa saja yang 'sepatutnya' sudah bisa dilakukan oleh orang dewasa, hanya saja ada masyarakat yang menyajikan itu. Yaah... hal-hal klise seperti linimasa kehidupan 'normal'; karir bagus, menikah, punya keluarga kecil--atau sekolah lagi, berkarir, menikah, berkeluarga--atau melajang dan hidup bahagia keliling dunia. Hal-hal yang dibuat oleh masyarakatk, yang dibuat seolah-olah begitulah alur hidup yang seharusnya. Tapi siapa yang memvalidasi itu semua? Tidak ada.
Jadi, sebenarnya, pada usia tiga-puluh tahun, apa, sih, yang harus (sudah) dicapai? Tidak ada jawaban konkret. Sebagaimana manusia diciptakan berbeda-beda,tentu beserta takdirnya masing-masing, sudah dengan linimasanya masing-masing. Semua ada waktunya, semua ada momennya, semua akan tercapai, tak harus sama, tak harus serentak. Yang pasti, semua akan kembali padaNya.
((tiba-tiba deep))
Kenyataannya, pada kisah saya, mencapai usia tiga-puluh tahun dalam keadaan baik-baik saja seperti sekarang ini sudah seperti anugerah! Lima sampai tujuh tahun lalu saya pernah merasa tidak akan baik-baik saja, dan sekarang bisa merasa baik dan tenang ini maasyaAllah sekali! Memang banyak keinginan yang belum tercapai, tapi kalau direnungi... hal yang sekarang terjadi dan tercapai adalah hal-hal yang saya minta pada Tuhan, hal-hal yang saya sebut dalam doa, yang saya pikirkan, yang saya impikan. Sampai sini, rasanya sangat perlu untuk bersyukur dan bersyukur, banyak mengingat betapa baiknya Tuhan. Semua tiba tepat waktu, hati yang terasa penuh karena hal yang diimpikan tercapai. Hal-hal yang dulu saya impikan.
Sekarang, bisakah saya mengulang itu semua? Bisakah percaya bahwa hal-hal yang saat ini diinginkan dan diimpikan, nanti akan terwujud pada saatnya. Sekali lagi. Lagi. Dan nanti sekali lagi. Lalu terus bergulir seperti itu. Bisa?
Dulu semua rasanya mustahil, rasannya banyak jalan yang ujungnya tak terlihat. Akhirnya? Yang berakhir akan berakhir, jalan yang masih panjang terus dilalui, jalan berbatu terlewati... semua ada ujungnya.
Sekarang, sebagai perenungan memasuki usia yang baru, usia ketika saya seharusnya sudah bisa lebih dewasa, hal-hal jadi lebih sederhana--mungkin karena sudah harus lebih realistis, ya? Bisa menjalani hari-hari dengan tenang, menghadapi konflik dengan kepala dingin, menyikapi hal yang tak sesuai rencana dengan kalem, memecahkan masalah dengan bijak, mengambil keputusan setelah dipikirkan matang-matang, dan hal-hal berbau bijaksana lainnya.
Doa pun makin sederhana, tapi berlaku secara umum; minta dicukupkan atas segalanya, minta diberi kesehatan dan perlindungan di manapun berada, minta dipertemukan dengan orang-orang baik, dan minta diberi kesempatan untuk terus berbuat baik.
Suatu hari, saya tiba pada sebuah pemikiran dan kesadaran bahwa oh, jadi dewasa itu ternyata bukan hanya mencapai hal-hal yang bisa diperlihatkan pada dunia, tetapi juga ternyata mencapai kedamaian dalam diri pun bisa disebut sebagai pencapaian, ya... Tidak bisa diperlihatkan pada dunia, tapi memengaruhi cara kita bersikap dan menyikapi yang ada di dunia, yang makin lama makin beragam.
Mencapai self-consent, selalu mindful, dan selalu bersyukur adalah hal-hal yang saya garisbawahi untuk memulai fase baru dalam hidup. Semoga semakin baik, berkah, dan bermanfaat ke depannya.
Dewasa tidak melulu tentang materi, tetapi selesai dengan masalah pada diri pun butuh perjuangan. Mempertahankan kondisi yang stabil adalah tantangan. Belajar menangani masalah interpersonal adalah pe-er. Bermimpi; yang belum tercapai atau tertunda, bukan berarti mimpinya hilang, nanti pada waktunya kita wujudkan perlahan. Semua akan ada waktunya.
-
Hello, Thirty! Hopefully we can start a new chapter at this age.
Comments
Post a Comment